Delapan Puluh Tahun dan Sebuah Cermin

Wednesday, August 13, 2025 06:16 PM | Opini
Delapan Puluh Tahun dan Sebuah Cermin
80 Th RI
Buku Shofwan Karim 2020 dan 2023
ilustrasi foto: simbolik kebhinnekaan
ilustrasi Foto: Simbolik Kebhinnekaan



Oleh: Anwar Fachry_

Peneliti P2KP Universitas Mataram

Anwar fachry
Anwar Fachry

Di usia delapan puluh, satu bangsa bukan lagi remaja yang penuh darah panas, tapi juga belum uzur hingga langkahnya goyah. Ia berdiri di persimpangan: di satu sisi ada jejak perjuangan, di sisi lain bayangan masa depan yang belum tentu ramah. Ulang tahun kemerdekaan seharusnya jadi hari raya, tapi juga menjadi saat bercermin. _"Kehidupan yang tidak teruji adalah tidak layak untuk dijalani,"_ kata Socrates; kehidupan yang tak diperiksa hanyalah riuh tanpa arah.

Kita merdeka dari penjajahan fisik sejak tahun 1945, tapi apakah kita sungguh-sungguh merdeka dari penjajahan pikiran, korupsi, keserakahan, dan ketidakpedulian? Cermin itu menunjukkan wajah ganda: senyum optimisme yang memikat, dan guratan kelelahan akibat beban yang belum tuntas.

Hari-hari ini, kita terlalu akrab dengan perayaan yang ramai tapi miskin makna. Tiap 17 Agustus, jalanan penuh bendera, lomba makan kerupuk dan panjat pinang. Itu indah, tapi sering berhenti pada kulitnya. Padahal, _"Patriotisme mendukung negara Anda sepanjang waktu, dan mendukung pemerintah Anda ketika diperlukan,"_ tulis Mark Twain. Mendukung bangsa tak selalu berarti membenarkan segala yang dilakukan penguasa; malah kadang artinya mengoreksi, dengan cinta yang kritis.

Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah waktu yang cukup untuk membuktikan janji para pendiri bangsa: bahwa kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi bebas dari ketakutan, bebas dari lapar, bebas dari perbudakan. Masalahnya, data masih menyentil kita: kekejangan sosial tetap lebar, kualitas pendidikan tak merata, kesehatan masyarakat mudah rapuh diterpa krisis. Sementara itu, politik kita sering terjebak dalam sirkus lima tahunan yang lebih sibuk mengingat citra daripada menyusun visi.

Di luar sana, dunia berubah dengan cepat. Perubahan iklim mengancam garis pantai kita; teknologi menghapus dan menghitung pekerjaan dalam hitungan bulan. Globalisasi memberi peluang, namun juga meningkatnya persaingan. Jika kita lalai, Indonesia akan menjadi penonton di panggungnya sendiri.

Kita perlu membicarakan ulang arti "kemerdekaan" dalam konteks abad ke-21. Kemerdekaan berarti mampu mengelola sumber daya alam dengan bijak, tanpa membiarkan dikeruk habis tanpa nilai tambah. Kemerdekaan berarti membangun kota dan desa yang tidak hanya indah dalam brosur pariwisata, tetapi juga ramah bagi warganya. Kemerdekaan berarti menjamin anak-anak Papua dan Nusa Tenggara mendapat kualitas guru dan fasilitas yang sama dengan anak-anak di Jakarta atau Bandung.

Namun pembicaraan ini sering terjadi dalam gangguan politik dan media sosial. Kita dibanjiri berita viral, tapi kekurangan gagasan besar. Padahal, bangsa ini tak akan bertahan hanya dengan slogan. Ia membutuhkan narasi bersama yang mampu mempersatukan, melampaui sekat identitas dan ideologi.

Mungkin, cara menyelamatkan ulang tahun kemerdekaan ke-80 bukan dengan pesta yang lebih besar, tapi dengan percakapan yang lebih jujur. Kita perlu mengakui kelemahan, menilai ulang prioritas, dan menatap masa depan dengan disiplin. Bung Hatta pernah mengingatkan, "Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, tetapi tidak jujur sulit diperbaiki." Dalam konteks ini, kejujuran bukan hanya soal pribadi, tetapi juga sistem yang transparan.

Kita perlu melibatkan generasi muda dalam proses ini, bukan sekadar sebagai peserta lomba 17-an, tapi sebagai arsitek masa depan. Mereka yang lahir di era digital memiliki modal kreatif yang tak dimiliki generasi sebelumnya. Namun, tanpa bimbingan nilai dan arah, kreativitas itu bisa kehilangan tujuan.

Dalam cermin delapan puluh tahun ini, kita juga harus melihat keberanian. Bukan sekedar keberanian di medan perang, tapi keberanian untuk menolak kompromi yang menggerus integritas. Keberanian untuk berkata "tidak" pada kebijakan yang merugikan rakyat, meski datang dari mereka yang berkuasa. Keberanian untuk mewariskan warisan yang lebih baik bagi generasi berikutnya, meski kita sendiri tak akan menikmatinya.

Pages:

Journalist: Anton Hilman
Editor: Shofwan Karim

Share:
link ke situs https://shofwankarim.wordpress.com
Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau
Milad IMM ke 61 pada 14 Maret 1964-2025
Selincam Pengalaman Kepemudaan dan Kepemimpinan di Kanada dan Amerika
link ke situs https://www.shofwankarim.com
Link ke situs https://www.shofwankarim.id/
https://langgam.id/tag/shofwan-karim/
shofwankarim.livejournal.com
kumparancomshofwankarim