80 Tahun RI, Kilas Balik Rangkayo Hj. Nur Ainas Abizar Tokoh Bundo Kanduang Minangkabau

Oleh Shofwan Karim
Pada 80 tahun hari kemerdekaan tahun ini, saya membolak-balik kenangan. Wabil khusus mencari hubungan kondusif antara generasi senior dan anak muda di masanya. Beberapa adalah hubungan pemuda dengan para tokoh masyarakat kala itu. Di antara sederetan tokoh itu, adalah pemimpin diBundo Kanduang.
Salah seorang, saya mengenal dan merasa dekat dengannya adalah Rangkayo Bundo Hj. Nur Ainas. Suaminya Ir. H.Abizar Dt. Tan Sati, seorang pejabat tinggi di Kanwil PU Sumbar. Senior PU Sumbar itu wafat 11 Juli 2011. Sementara Bundo (sebutan kami ke Rangkayo Nur Ainas) baru wafat 30 Juli atau dua pekan sebelum kita memperingati 80 Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 2025 ini.
Ibu dari Mesra Eza dan tiga adiknya Fethriza, Fithtria, Yezi Selvia dan Virgisyia Abizar itu, saya kenal sejak awal tahun 1980. Sebagai orang muda saat itu saya banyak berguru dengan tokoh. Di antaranya dengan Bundo. Pada masa itu organisasi pemuda belum sebanyak sekarang. Yang paling menonjol pada dekade kedua Orde Baru itu adalah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Mulai berdiri 23 Juli 1973, KNPI menjadi organisasi pemuda yang bersifat federatif bagi semua organisasi pemuda, pelajar, pelajar dan profesional kaula muda dan wanita. Namanya Komite. Bukan persatuan, bukan gerakan, bukan ikatan atau perkumpulan. Akan tetapi semua organisasi pemuda, pelajar, pelajar dan kalangan profesional muda secara pribadi dan atas nama organisasi dari mana mereka berasal, bergabung disitu.
Bundo Kanduang
Organisasi Bundo Kanduang lahir 18 November 1974 di Payakumbuh. Pada Musyawarah Besar (Mubes) Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) memutuskan penting berdirinya perkumpulan ibu-ibu Bundo Kanduang. Dan Bundo Nur Ainas adalah sekertaris pertamanya. Para pengurus di lantik oleh Payung Panji LKAAM Gubernur Harun Zain, masa itu.
Sejak itu, seolah-olah kepemimpinan masyarakarat di ranah ini ada sub-kultur dari tigo tali sapilin. Pengembangan dari Ninik-mamak yang diinstitusionalisasi menjadi LKAAM. Ulama adalah MUI. Cadiak-pandai adalah kaum birokrat, pendidik, budayawan dan usahawan. Lalu ada Bundo Kanduang sebagai representasi Wanita. Dan KNPI representasi pemuda, pelajar, pelajar dan kaum profesional muda.
Tentu saja di KNPI banyak tokoh muda wanita di masa itu. Mereka sangat gencar melakukan agenda kewanitaan dengan Bundo Kanduang. Sementara tanpa bias gender KNPI yang lain berkolaborasi dengan MUI dan LKAAM dalam kegiataan yang berhubungan dengan pemikiran dan program keagamaan, adat dan Kebudayaan.
Dan dalam pelatihan kepemudaan banyak melakukan seminar, diskusi, temu pencerahan dengan inisiasi dari KNPI dan sebaliknya bersama Bundo Kandung, LKAAM dan MUI.
Bundo dan Generasi Muda
Bundo Nur Ainas paling sering saya temui dalam setiap kegiatan pelatihan itu. Apa lagi pada tahun 1978, Kabinet Pembangunan Orde Baru 1978 lahir Menteri Muda Urusan Pemuda. Soal kepemudaan agak ditonjolkan. Abdul Gafur, Kolonel AU, tokoh HMI di KNPI menjadi Menteri Muda Urusan Pemuda. Ada program strategis yang disebut Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda (PPGM). KNPI sering melaksanakan program nasional dan lokal. Ada Studi Pembangunan Pemuda. Ada Penataran P4 Pemuda. Ada Pelatihan Fasilitator Pemuda Nasional. Ada Resimen Mahasiwa. Ada Pertukaran Pemuda Antar Negara. Ada Delegasi Pemuda ke Sidang Umum PBB di New York.
Saya ikut dalam berbagai agenda nasional dan internasional itu. Pengalaman masa muda yang cukup lumayan memberikan peluang lebih banyak lagi bagi saya dalam mengkuti berbagai agenda nasional dan dunia di lima benua. Bahkan berulang-ulang melebar ke bidang lintas Agama, Kebudayaan dan Hubungan Internasional, Parlementaria, Buruh, Demokrasi Akar Rumput, International Visitor Ledership Program (IVLP) Amerika, International Community Development Canada World Youth, Youth Leader In Action ((YLIA) serta LSM Dunia lainnya.
Mengapa di akhir tahun 1970-an, 80-an dan pertengahan 90-an kepemudaan dunia terasa gebyarnya? Kemungkinan ini ada hubungannya dengan peristiwa Malari 1974 dan Peristiwa 1978. Yang pertama terkait soal ekonomi dan investasi asing dan yang kedua adanya kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus). Kedua huru-hara itu tak terlepas dari sketsa politik nasional masa itu.
Journalist: Shofwan Karim
Editor: Shofwan Karim
Related news
Gercep Pemprov dan Muhammadiyah
Kolom Shofwan Karim - June 1, 2025
ABS-SBK, Gub BMA dan Varian Wisata Halal
Kolom Shofwan Karim - May 23, 2025
Perspektif Islam tentang Gender
Kolom Shofwan Karim - April 19, 2025






















