Ustadz H. Ristawardi memberikan taushiyah pada Dakwah Serumpun Jumat malam di Masjid Baiturrahmah dihadiri Presiden DMDI Internasional dan Ketua Umum DMDFI Indonesia dengan Ketua DMD Sumbar dan pengurus seluruhnya serta tamu mancanegara. (Ist)
Episode akhir
Oleh Shofwan Karim
Dari pidato gubernur-gubernur dari negara peserta konvensi DMDI, delegasi menangkap nuansa belum terciptanya kesetaraan. Banyak gubernur yang masih menuntut kepada Sekretariat DMDI. Itu artinya tanggungjawab tentang DMDI tertumpah kepada tuan rumah Melaka. Hal itu tentu saja tidak keseluruhannya.
Misalnya, sebagian besar delegasi datang dengan biaya sendiri. Bahkan kita yang dari Tim Sekretariat Sumbar, harus membayar hotel dari kantong sendiri. Kecuali, menurut info, hotel untuk gubernur dari berbagai provinsi ditanggung secretariat pusat. Keringanannya adalah transportasi local dari hotel dan ke MITC tempat konvensi.
Transportasi hotel dari dan ke Bandar Udara serta pelabuhan kedatangan dan keberangkatan. Ini memang semuanya diatur panitia setempat. Konsumsi yang ditanggung adalah yang disediakan di tempat konvensi untuk siang dan malam hari. Selebihnya urusan masing-masing.
Namun di alam proyek-proyek kegiatan DMDI di berbagai negara, nampaknya memang mengandalkan modal pendanaan dari Sekretariat Pusat DMDI. Itu pun ada pengecualian. Misalnya lokakarya DMDI di Bukittinggi bulan Juli 2003. Biaya local di Sumbar di tanggung oleh pihak Sumbar. Agaknya demikian pula sebelumnya di Medan dan Palembang, Babel dan mungkin pula di Australia awal April 2004 baru-baru ini.
Namun demikian, agaknya bujet terbesar datang dari Sekretariat Pusat DMDI Melaka. Dan ini tentu saja suatu kewajaran. Melaka lah yang menggagas pada awalnya proyek DMDI ini. Dan sampai sekarang masuk tahun ke lima, bahkan masih pada tahun-tahun berikutnya, proyek kegiatan mengandalkan Melaka.
Padahal melihat kepada tujuan ideal DMDI, semua negara dan provinsi secara setara harus bertanggunggungjawab. Maka kalau kenyataan bahwa ada negara DMDI terkesan kurang saham atau share dalam pendanaan ini, maka tentulah sesuatu yang masih dalam tahap wajar. Karena kemampuan masing-masing negara dan provinsi tidak sama.
Bak pepatah Melayu Minangkabau juga. Hilang rono dek panyakik, hilang bangso dek indak ba ameh. Akibatnya oleh beberapa peserta terasa posisi antara delegasi dengan tuan rumah belum duduk sama rendah dan tegak sama tinggi. Hawari Sidik, misalnya menangkap perasaan sebagian delegasi yang merasa menjadi sub-ordinasi dari tuan rumah.
Sebenarnya, di luar soal pendanaan, perasaan itu bisa hilang kalau delegasi bergerak secara dinamis dan aktif dalam setiap event. Penulis misalnya, ketika di Biro Dakwah merasa peranan cukup optimal. Bahkan ketika floor memilih secara aklamasi untuk menjadi (ketua) biro Dakwah atau Pengerusi Jawatan Kuasa Biro Dakwah Sekretariat Pusat DMDI di Melaka, terasa bahwa tidak ada keberatan dari pihak tuan rumah. Waktu itu yang bertangungjawab soal ini adalah Encik Haji Abdul Halim bin Tawil, yang duduk di sebelah penulis sebagai sesama pemimpin jalannya lokakarya di Biro ini.